Friday, March 21, 2008

Belajar Menghargai Karya Cipta


Demam dan Booming film Ayat-Ayat Cinta (AAC) berbanding lurus dengan beredarnya CD/DVD Bajakannya. CD/DVD Bajakan itu katanya direkam dari Bioskop. Beberapa teman berkali-kali menawarkan tontonan gratis itu. Namun saya telah berucap dalam hati untuk tidak menonton dalam versi bajakan karena hal itu bukan saja pelanggaran, tapi juga mengandaikan bila saya menjadi sutradara ataupun produser tentu akan sangat sedih dan kecewa. Mereka telah mengeluarkan ide, gagasan, waktu dan biaya untuk menghasilkan karya namun dengan mudahnya ide dan karya cipta itu dibajak tanpa kita memberi kompensasi apapun dari hasil yang mereka kerjakan.

Baru kali ini, Kamis (20/03/2008) saya melihat Ibu-ibu berkerudung dan banyak pria berjenggot yang mungkin dari suatu majelis taklim mana berbondong-bondong memasuki gedung bioskop studio 21 Plaza Ambarukmo. Mereka adalah orang-orang yang mau berapresiasi dengan film fenomenal AAC yang berita terakhir ketika tulisan ini dibuat telah ditonton 3 Juta orang. Suatu angka jumlah penonton yang fantastis bagi film Indonesia. Bila data itu benar maka akan tercipta jumlah penonton terbesar dalam sejarah Perfilman Indonesia. Dan hal itu tentu adalah atmosfir bagus bagi perkembangan film Indonesia yang bisa saja menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dalam bidang musik kita telah mampu melakukannya, tentu bukan hal yang mustahil pula terjadi dalam dunia film.

Kekuatan cerita adalah faktor utama film ini banyak menyedot perhatian penonton. Belum lagi racikan tangan sutradara Hanung Bramantyo seakan setiap filmnya terasa berkelas. Sewaktu mahasiswa kurun waktu 1999-2000 an kami dari UKM Jama'ah Cinema Mahasiswa (JCM) IAIN Sunan Kalijaga pernah mengundang Hanung Bramantyo guna apresiasi karya FTV Produksi RCTI berjudul Gelas-gelas Berdenting. Saat itu ketika banyak mahasiswa kritis bertanya seputar karyanya belum tampak Hanung seperti sekarang yang mampu menjawab dengan penuh idealisme. Jawabnya singkat, karya saya ya begini soal hasil terserah penonton. Tapi sekarang dia mampu memberikan pemaparan-pemaparan dari tiap karya yang ia buat sebagai pertanggungjawaban seni.

Kembali soal pembajakan sebenarnya sederhana, ketika saya coba berselencar atau jalan-jalan ke para blogger banyak yang tidak rela dan mengecam apabila tulisan mereka di copy paste. Maka tidak heran apabila Musik yang kita dengar dan film yang kita tonton bila hasil dari pembajakan tentu mereka tidak rela terlebih telah banyak biaya yang mereka keluarkan. Penegakan hukum akan berjalan bila tiap individu juga merasakan pentingnya kesadaran untuk tidak melanggar hukum. Karena hukum yang dipaksakan hanya akan melahirkan perlawanan yang mana pelaksanaan hukum menjadi tidak efektif. Maka, mari kita bersama menjadi masyarakat yang sadar hukum dengan tidak mendengar, memakai dan menonton barang bajakan.

2 comments:

  1. pembajakan memang mengakar di Indonesia. Produser di Indonesia mengeluh bila karyanya dibajak tapi banyak juga temannya sesama produser yang membajak hasil karya orang lain, mis: sinetron.

    ReplyDelete
  2. sy masih suka heran, sy pikir orang tau blog ato internet khan orang yg lebih melek, pinter dan lebih sadar drpd rata2 masyarakat, namun sy masih suka liat yg menebarkan MP3 gratis dg berbagai dalih, padahal jelas2 scr hukum melanggar bagi yg tak memiliki ijin atas hak distribusi ato penyebaran.
    Mungkin keheranan sy ini gara2 (kebetulan) sy setuju ama imbauan sampeyan ini.
    Salut atas keberanian dakwahnya dr hal2 yg banyak orang anggap sepele, namun sesungguhnya mereka dg tenangnya telah menimbun dosa dg "membajak" hak rezeki sesama manusia (produser, artis, dll)

    ReplyDelete