“Taqabbalallahu Minna Wa Minkum.
Minal Aidzin Wal Faizin.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1428 H.
Mohon Maaf Lahir Batin”
Setiap hari raya Idul Fitri tiba dalam keluarga besar (Bani) saya punya tradisi kumpul bersama yang biasa disebut silaturahmi saling memaafkan. Sesudahnya, saling berbagi cerita dan pengalaman yang mereka dapatkan dari berbagai penjuru perantauan. Secara tradisi keagamaan keluarga saya termasuk yang cukup lengkap mewakili berbagai kelompok sosial keagamaan yang ada di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, Salafy, LDII, dll. Keanekaragaman dalam pilihan organisasi sosial keagamaan itu membuka ruang dialog tema terhangat seputar perbedaan penentuan 1 Syawal sebagi penanda berakhirnya Bulan Ramadhan.
Bagi keluarga yang dari NU berpendapat bahwa penentuan bulan baru pada Awal Ramadhan dan Syawal tidak cukup dengan perhitungan hisab semata tetapi perlu dibuktikan dengan Rukyat (melihat langsung). Sikap itu mencerminkan kehati-hatian sebagaimana para penganut madzhab Syafi’i pada umumnya. Belum lagi secara teks dalil perintah melihat langsung itu memang ada. Jadi, bukan semata karena Depag sedang di pimpin oleh kelompoknya sehingga idul fitrinya menjadi sealur dengan keputusan pemerintah.
Perwakilan keluarga Muhammadiyah bersikukuh bahwa penentuan bulan baru cukup dihitung secara astronomi. Menurut mereka ilmu pengetahuan modern sudah seharusnya menjadi alat bantu dalam persoalan keagamaan. Maka penentuan bulan-bulan Hijriyah bisa diketahui dengan ilmu falak/ hisab mengingat peredaran tata surya seperti bumi bersifat tetap. Sehingga meski tidak dapat dilihat dan derajatnya 0’ bila telah wujud al-hilal maka telah masuk bulan baru.
Sedangkan perwakilan keluarga yang lain seperti Salafy berpendapat bahwa Rukyat (melihat bulan) bersifat global. Jadi, dimanapun tempatnya meski lintas negara bila ada yang telah melihat bulan maka berlaku bagi seluruh penduduk dunia. Namun kelompok itu tidak konsisten karena pendapatnya 2 tahun ini tidak dipakai lagi padahal sebelumnya mereka sering berpatokan dengan Arab Saudi, kebetulan 2 tahun ini idul fitri Arab Saudi sama dengan keputusan Muhammadiyah.
Tahun ini kelompok itu mengikuti pemerintah dalam penentuan Idul Fitri. Menurut mereka keputusan pemerintah dalam idul fitri harus diikuti sepenjang pemerintah itu di pimpin orang Islam dan meksi pemerintahnnya itu dholim sekalipun. Padahal kelompok itu pada pemilu tahun 2004 tidak ikut Pemilu karena menganggap sistem demokrasi merupakan sistemnya orang Yahudi.
Berbeda dengan pemerintah yang terlihat begitu panik melihat perbedaan khususnya Idul Fitri, keluarga besar saya justeru menganggapnya sebuah pembelajaran. Karena mustahil menghilangkan sama sekali perbedaan dalam ritual keagamaan. Justeru dengan adanyaperbedaan itu timbulah dialog dan diskusi yang mencerdaskan dan saling menghargai.
Tema lain seputar mudik adalah tentang Booming tanaman hias. Mereka sangat asyik membicarakan Anthurium; Jeemanji, gelombang cinta, dll. Mudah-mudahan kesadaran tanaman hias itu ikut menyumbangkan kesejukan dunia dari ancaman pemanasan global (Global Warming) yang ditandai peningkatan suhu udara dan mencairnya Es di kutub. Para pakar mengatakan salah satu upaya pencegahan global warming adalah melakukan gerakan penghijuan dengan menanam setiap jengkal tanah di sekiling kita. Maka jangan biarkan ada tanah kosong tanpa tanaman.
Bagi keluarga yang dari NU berpendapat bahwa penentuan bulan baru pada Awal Ramadhan dan Syawal tidak cukup dengan perhitungan hisab semata tetapi perlu dibuktikan dengan Rukyat (melihat langsung). Sikap itu mencerminkan kehati-hatian sebagaimana para penganut madzhab Syafi’i pada umumnya. Belum lagi secara teks dalil perintah melihat langsung itu memang ada. Jadi, bukan semata karena Depag sedang di pimpin oleh kelompoknya sehingga idul fitrinya menjadi sealur dengan keputusan pemerintah.
Perwakilan keluarga Muhammadiyah bersikukuh bahwa penentuan bulan baru cukup dihitung secara astronomi. Menurut mereka ilmu pengetahuan modern sudah seharusnya menjadi alat bantu dalam persoalan keagamaan. Maka penentuan bulan-bulan Hijriyah bisa diketahui dengan ilmu falak/ hisab mengingat peredaran tata surya seperti bumi bersifat tetap. Sehingga meski tidak dapat dilihat dan derajatnya 0’ bila telah wujud al-hilal maka telah masuk bulan baru.
Sedangkan perwakilan keluarga yang lain seperti Salafy berpendapat bahwa Rukyat (melihat bulan) bersifat global. Jadi, dimanapun tempatnya meski lintas negara bila ada yang telah melihat bulan maka berlaku bagi seluruh penduduk dunia. Namun kelompok itu tidak konsisten karena pendapatnya 2 tahun ini tidak dipakai lagi padahal sebelumnya mereka sering berpatokan dengan Arab Saudi, kebetulan 2 tahun ini idul fitri Arab Saudi sama dengan keputusan Muhammadiyah.
Tahun ini kelompok itu mengikuti pemerintah dalam penentuan Idul Fitri. Menurut mereka keputusan pemerintah dalam idul fitri harus diikuti sepenjang pemerintah itu di pimpin orang Islam dan meksi pemerintahnnya itu dholim sekalipun. Padahal kelompok itu pada pemilu tahun 2004 tidak ikut Pemilu karena menganggap sistem demokrasi merupakan sistemnya orang Yahudi.
Berbeda dengan pemerintah yang terlihat begitu panik melihat perbedaan khususnya Idul Fitri, keluarga besar saya justeru menganggapnya sebuah pembelajaran. Karena mustahil menghilangkan sama sekali perbedaan dalam ritual keagamaan. Justeru dengan adanyaperbedaan itu timbulah dialog dan diskusi yang mencerdaskan dan saling menghargai.
Tema lain seputar mudik adalah tentang Booming tanaman hias. Mereka sangat asyik membicarakan Anthurium; Jeemanji, gelombang cinta, dll. Mudah-mudahan kesadaran tanaman hias itu ikut menyumbangkan kesejukan dunia dari ancaman pemanasan global (Global Warming) yang ditandai peningkatan suhu udara dan mencairnya Es di kutub. Para pakar mengatakan salah satu upaya pencegahan global warming adalah melakukan gerakan penghijuan dengan menanam setiap jengkal tanah di sekiling kita. Maka jangan biarkan ada tanah kosong tanpa tanaman.
No comments:
Post a Comment