Wednesday, September 26, 2007

Psikologis Sosial Beda Lebaran

Meski puasa belum usai banyak yang membicarakan bahwa lebaran tahun ini kembali dirayakan tidak secara bersama. Hal itu terkait perbedaan metodologi penentuan bulan baru (hilal) dalam sistem kalender Hijriah. Metode itu dikenal dengan nama Hisab (menghitung) dan Rukyat (melihat). Bagi yang yang menggunakan hisab memutuskan bahwa tanggal 12 Oktober mendatang sudah masuk bulan baru (1 Syawal) karena hilal telah berada diatas ufuk (garis lurus bulan-matahari). Namun posisi hilal yang masih di bawah 2 derajat (rata-rata bulan bisa dilihat) tentu membuat mereka yang menggunakan rukyat diperkirakan belum bisa melihat bulan baru itu, maka akan menggenapkan bulan Ramadhan menjadi 30 hari dan berlebaran pada 13 Oktober. Demikiam kira-kira gambaran umumnya.

Dasar hukum penentuan kapan dan berakhirnya puasa kebanyakan mengacu pada hadits Nabi yang berbunyi “Berpuasalah karena melihat bulan, dan berlebaranlah karena melihat bulan” . Kalimat “melihat bulan” itu menjadi dasar utama metode rukyat. Namun pengguna hisab pun menafsiri bahwa “melihat bulan” tidak harus penglihatan langsung, terlebih ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat, demikian mereka menambahkan.

Sebagai orang yang pernah belajar ilmu hisab meski dapat C+ kemungkinan saya akan ikut metode hisab. Namun ketika melihat saudara dan tetangga sebelah seperti pada tahun-tahun sebelumnya yang belum berlebaran menjadikan suasana itu tidak sreg. Ada semacam ganjalan dari sebuah kebersamaan. Ketika yang satu sudah bersuka cita yang lain masih berpuasa. Ketika mau berkunjung silaturahmi tampak rumah masih sepi karena baru lebaran esok hari. Meski sebelumnya sudah di dengung-dengungkan bahwa perbedaan itu adalah rahmat, tapi bukankah kebersamaan itu bukan saja rahmat dan berkat?

Apakah kedua metode yang digunakan itu selamanya tidak bisa mebuat kebersamaan berlebaran? Kalau menurut wapres Jusuf kalla; “biarpun seratus tahun kalau sama-sama ngotot rukyat-hisab tidak akan pernah ketemu”. Tapi sebenarnya tetap bisa ketemu ketika standarisasi metode itu lebih dilenturkan. Misalnya ada derajat minimal yang disepakati pada posisi hilal untuk menentukan bulan baru. Misalnya 2 derajat merupakan batas bulan baru, jadi yang hisab ketika belum 2 derajat jangan lebaran dulu dan yang rukyat ketika 2 derajat meski tidak terlihat karena berbagai sebab misalnya awan mendung dan lainya tetap bisa menerima. Mungkin semua ini adalah proses belajar dewasa umat Islam, karena balajar itu butuh proses termasuk proses kespakatan lebaran bersama.

No comments:

Post a Comment