Tuesday, August 28, 2007

Violence Fenomena in Campus

Belum hilang ingatan kita tentang Haryanto (12), siswa kelas VI Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sanding IV, Kabupaten Garut yang gantung diri akibat tidak mampu membayar biaya ekstra kurikuler sebesar Rp. 2.500. Dunia pendidikan kita dibuat geger kembali akibat tewasnya Wahyu Hidayat, mahasiswa Sekolah Tinggi Pemerinahan Dalam Negeri (STPDN), yang diduga akibat dianiaya seniornya karena tidak mau ikut rombongan mahasiswa dalam kunjungan tradisoinal menghadap Gubernur. Kedua peristiwa diatas semakin menambah daftar panjang persoalan yang melingkupi dalam dunia pendidikan kita.

Peristiwa yang menimpa Wahyu Hidayat merupakan bentuk kekerasan yang saat ini mulai kembali marak terjadi di wilayah akademik. Beberapa waktu yang lalu di Yogyakarta juga terjadi dua peristiwa kekerasan yang terjadi di kampus Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), yakni tawuran antar fakultas buntut dari pelaksanaan Ospek dan akibat demo penolakan komersialisasi pendidikan. (Radar Jogja, 9/09/’03) Begitu juga yang terjadi di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta, semuanya sama, kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa.

Dengan adanya peristiwa tersebut tentunya kita menjadi prihatin dengan hasil dari pendidikan yang kita selenggarakan. Pendidikan kita ternyata belum mampu membangun kepribadian manusia dan memberikan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Disamping itu pendidikan juga belum mampu meningkatkan saling pengertian, toleransi, dan persaudaraan. Namun dengan adanya peristiwa tersebut tentunya kita menjadi sadar, kita harus secepatnya membenahi apa yang sesungguhnya salah, kurang dan tidak benar dalam pengeloalaan pendidikan kita bagi anak didik.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, kita hampir mendengar setiap hari ancaman serta teror. Berbagai nilai luhur sekan runtuh menyusul banyaknya aksi kekerasan, tawuran antar pelajar dan mahasiswa. Orang tiba-tiba menjadi kalap, sensitif dan beringas, mudah sekali marah dan agresif. Kita tentu tidak dapat lagi memeluk rasa tidak bersalah dalam banyak kasus dan ending berbagai carut marut kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini. Apa yang saat ini kita anggap sebagai pelanggaran hendaknya dimulai juga mengembangkan kepekaan terhadapnya.

Sedangkan bentuk kekarasan di dalam kampus biasanya akan sangat marak ketika musim mahasiswa baru dimulai. Karena saat itu ada moment penyambutan mahasiswa yang biasanya diisi dengan acara yang membutuhkan hukuman sebagai “penegakan disiplin” yang sering memakan korban. Namun saat ini kekerasan dikampus tidak semata karena acara seperti penyambutan mahasiswa baru, tetapi acara musik yang diselenggarakan dikampus saja sekarang terkadang berbuntut perkelahian dan juga mengarah kepada tawur massal, seperti tidak ada bedanya dengan apa yang dilakukan adik-adiknya di SMU.

Apabila kampus sebagai wilayah akdemik yang selama ini dikenal sebagai tempat yang mengedepankan akal, menjunjunng tinggi kebudayaan, humanisme, keadilan, kemanusiaan, dan keberbangsaan yang paling beradab saja mudah bertindak kekerasan, bagaimana dengan masyarakat yang berpendidikan rendah? Maka tidak heran apabila bangsa kita dimata dunia internasional sebagai negara yang tidak aman. Dan hal ini tentunya dalam segala hal akan merugikan kita dalam upaya membangun bangsa.

Dan mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat, para calon pemimpin, dan seabrek predikat sosial lain yang disandangnya apabila telah terbiasa berbuat diluar batas norma-norma, maka tidak mungkin nantinya apabila kembali kemasyarakat tidak akan membawa perubahan yang berarti, malah semakin membuat masyarakat menjadi rusak. Menurut Prof. Driyarkara SJ, bahwa pendidikan adalah untuk pemanusiaan manusia muda. Sehingga diharapkan para kaum muda tersebut menjadi Human atau mencapai tingkat insani. Dilain itu Daniel Goleman berpendapat bahwa gejala yang melanda orang muda seperti menggebuk teman, memuncratkan darah, melukai yang dianggap lawan, merusak fasilitas umum atau apapun yang mudah menjadi pelampiasan kebrutalan merupakan berawal dari kemrosotan mutu perasaan.

Masih menurut Goleman, dalam diri manusia terdapat unsur perasaan dan unsur penalaran yang berperan penting dalam tindakannya. Kemudian riset ilmiahnya membuktikan bahwa keandalan dan pengendalian perasaan seseorang merupakan model hidup sukses secara pribadi maupun masyarakat. Hal ini apabila kita refleksikan dalam pendidikan kita masih sangat jauh dari harapan tersebut. Pendidikan kita selama ini dari jenjang sekolah dasar hingga pendidikan tinggi menganut supremasi IQ alias pendewaan akal, sementara perasaan EQ tidak pernah digarap secara formal strategis. Maka menjadi mendesak adalah memberikan tempat bagi upaya pencerdasan perasaan. Sehingga dengan demikian ada tempat untuk mengasah perasaan dan sisi kemanusiaan pelajar dan mahasiswa yang notabene-nya orang muda. Hal tersebut dapat dilakukan melalui muatan kurikulum dalam pendidikan.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menanamkan pendidikan budi pekerti, dan mengkampanyekan gerakan anti kekerasan didalam kampus. Dan sesuatu yang menjadi hipokrit bagi mahasiswa harus dihilangkan seperti, acara Ospek yang bersifat militeristik, karena selama ini mahasiswa menyuarakan antimiliterisme akan tetapi mereka praktekan juga dalam Ospek. Kegiatan mahasiswa yang bersifat militerisme seperti Resimen Mahasiswa harus mulai dihilangkan, karena berdalih menegakan disiplin, namun pengertian penegakan praktek disiplin yang kebablasan semacam itulah yang akhirnya membuat Wahyu di kerjai seniornya.

Penghargaan antar manusia di negeri ini kiranya baik kalau mulai dikoreksi dari praksis pendidikan yang tampaknya semakin mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan orang-orang muda. Kalau mereka didik seperti robot, maka merekapun akan tumbuh dengan mengabaikan penghargaan kepada sesama disekitarnya sebagai manusia. Jika demikian yang terjadi, maka pendidikan dinegeri ini secara sistematis semakin mengasingkan orang-orang muda dari dirinya sendiri. Ini tentu tidak kita harapkan!**

Fajar Widodo, Mantan Aktivis Majelis Penyelamat Pendidikan Nasional (MATA-PENA) & Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) IAIN Sunan kalijaga Jogjakarta.

Artikel ini pernah dimuat di Jawa Pos,
16 September 2003
dengan Judul;Cermin Buram Pendidikan

1 comment: