Tuesday, August 28, 2007

Maintain Idiom Local Banyumas

Bahasa merupakan sarana komunikasi, pergaulan, pola hubungan kemanusiaan dan lain sebagainya dalam suatu masyarakat. Demikian halnya masyarakat Banyumas, sebuah daerah di Jawa Tengah bagian barat, berkembang bahasa jawa dialek Banyumasan. Bahasa Banyumasan yang sering juga disebut bahasa Ngapak tersebut, mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri. Namun, seiring perkembangan zaman bahasa Banyumasan terancam ditinggalkan secara berangsur-angsur oleh mayoritas masyarakatnya.

Salah satu keunikan bahasa Banyumas adalah terdengar lucu, setidaknya oleh masyarakat daerah lain karena dianggap tidak lazim sebagaimana umumnya bahasa Jawa. Seperti, ucapan, piye menjadi kpriwe, sopo menjadi sapa, atau iki menjadi kiye, dan lain-lain. Di samping itu bahasa Banyumas memiliki spesifikasi berupa penggunaan vokal dan konsonan pada akhir kata yang diucapkan dengan jelas. Seperti, tiba, sega, mangga, jeruk, manuk, kepadhuk, dan lain-lain.

Anggapan lucu bahasa Banyumasan oleh orang luar inilah kemudian menimbulkan perasaan malu serta menganggap rendah (inferior) budaya sendiri sebab bahasanya dinilai kasar dan menjadi bahan tertawaan. Stereotip semacam ini kemudian berkembang di luar Banyumas. Hal ini menyebabkan yang dianggap rendah tidak hanya dialek, tetapi budaya banyumasan secara keseluruhan, misalnya busana, gagrag wayang, atau perilaku pergaulannya. Akhirnya, banyak orang Banyumas tidak ingin menampilkan jatidirinya mereka lebih menyukai gaya Sala atau Yogya dalam hal bahasa, busana, nama, sampai pakeliran.

Padahal, banyak kalangan ahli bahasa berpendapat bahwa bahasa Banyumasan memiliki kosa kata yang dekat dengan bahasa Kawi, misalnya : inyong mirip dengan ingong, rika sama dengan rika. Maka, bahasa Banyumasan adalah bahasa yang dianggap lebih tua dari pada bahasa jawa yang berkembang saat ini, pendapat tersebut setidaknya diperkuat dari pengucapan vokal dan konsonan yang mirip dengan pola pengucapan pada bahasa Jawa Kuno, misalnya : "tan ana dharma mangrwa".

Menurut Ahmad Tohari, keberadaan bahasa Banyumasan yang sekarang jarang dipakai sebagai bahasa pergaulan sehari-hari merupakan kondisi yang memprihatikan. Hal tersebut terutama banyak terjadi di wilayah perkotaan dimana mereka lebih suka memakai bahasa Indonesia atau justeru bahasa Jawa khas bandekan (Yogya-Solo) sebagi bahasa pergaulan sehari-harinya. Warga yang mulai asing dengan bahasanya sendiri tersebut tidak hanya kalangan anak muda dan pelajar, tetapi juga masyarakat usia dewasa, 40 sampai 50 tahun ke atas.

Gambaran di atas secara langsung penulis rasakan ketika saat ini tinggal di Yogyakarta. Banyak teman-teman yang sesama Banyumas tidak lagi memakai bahasa asalnya untuk saling berkomunikasi, sehingga pernah seorang teman pulang naik kereta api pada awalnya bercakap dengan bahasa Indonesia dan Jawa khas bandekan, tapi ketika kereta sudah memasuki Kebumen sudah dengan bahasa ngapak. Kondisi semacam itu juga sering terjadi pada pertemuan masyarakat Banyumas di Yogyakarta, keadaan ini tentu ironis dengan maksud pertemuan itu sendiri diadakan.

Kondisi demikian tentu lebih tragis apabila bahasa Banyumasan telah tersingkir dari wilayahnya sendiri akibat perasaan rendah diri yang berlebihan. Ada semacam “sindrom jajahan” pada mentalitas yang tidak disadari masyarakat Banyumas pada kondisi demikian. Bila dirunut dari pengalaman sejarah, ketidak-PD-an orang Banyumas timbul ketika masa zaman Kadipaten Wirasaba (yang wilayahnya meliputi eks-Karesidenan Banyumas sekarang) dikuasai oleh orang asing atau daerah luar.

Pada masa kadipaten Wirasaba tersebut datanglah Kerajaan Pajang yang pertama kali menguasai Banyumas, kemudian Demak. Lepas dari Demak, Banyumas menjadi wilayah kekuasaan Mataram. Dan setelah Mataram pecah, Banyumas dikuasai oleh Kasunanan Surakarta, masuk wilayah Manca Nagari Kilen. Ketika berada dalam kekuasaan Kasunanan kebanyakan bupati Banyumas didatangkan dari pusat kekuasaan atau setidaknya punya hubungan darah dengan Sunan. Dan terakhir Banyumas diserahkan oleh kasunanan kepada pemerintah kolonial Belanda.

Penggunaan bahasa Banyumasan bukan hanya masyarakat kabupaten Banyumas saja, tapi lebih luas lagi pada kabupaten Cilacap, Banjarnegara, Purbalingga, atau yang pada zaman dulu masuk dalam Karisidenan Banyumas. Di samping itu daerah yang tidak termasuk eks karesidenan tersebut juga menggunakannya meski dalam cengkok atau aksen yang sedikit berbeda. Seperti, Tegal, Kebumen, Wonosobo, dan Brebes.

Faktor kesamaan budaya lebih khusunya bahasa inilah, pernah mendorong wacana menjadikan wilayah berbahasa Banyumasan tersebut propinsi sendiri dengan Tegal sebagai Ibukota Propinsi. Sebuah gagasan awal dari bentuk pengentalan komunitas yang mendasarkan pada kajian historis. Hanya saja wacana tersebut berhenti seiring berbagai pertimbangan, dan tentunya memerlukan kajian yang lebih mendalam serta komprehensif.

Pada bahasa Banyumasan ada nilai-nilai yang dapat digali menjadi semangat yang relevan dalam konteks zaman modern sekarang. Seperti sifat cablaka (terus terang dan apa adanya), dan kesadaran penginyongan (kesamaan sosial). Kesadaran penginyongan, misalnya, yakni kesadaran kolektif orang Banyumas sebagai komunitas nonpriyayi bisa dibangun menjadi semangat kerakyatan yang dapat mengikis budaya feodal Jawa dimana tidak sesuai lagi dengan pembangunan demokrasi.

Demikian halnya dengan watak cablaka (apa adanya, apa mestinya dan terus terang) bisa dikembangkan menjadi etos transparansi dan kejujuran yang sekarang sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan bangsa ini. Dan dialek Banyumasan dalam hal ini lebih punya daya adaptasi yang tinggi terhadap tuntutan jaman daripada bahasa Jawa baku karena sifatnya yang lebih egaliter. Sifat egaliter tersebut pada akhirnya dapat mendorong pada transparansi dan kejujuran yang tidak ewuh pakewuh.

Di samping itu, bahasa sebagai identitas daerah merupakan nilai keanekaragaman budaya nusantara yang perlu dilestarikan. Adanya globalisasi misalnya tidak lantas mencerabut akar budaya lokal seperti bahasa yang mempunyai nilai strategis sebagai bahasa pergaulan dan 'bahasa rakyat''. Untuk menyelamatkan kondisi itu, langkah yang bisa dilakukan antara lain masyarakat Banyumas harus sadar bahwa bahasa Banyumasan merupakan aset sangat sebagai modal membangun dengan dasar budaya sendiri.

Bahasa Banyumasan merupakan alat transformasi nilai-nilai masyarakat Banyumas itu sendiri. Di samping itu untuk situasi informal bahasa lokal juga masih berfungsi maka perlu dilestarikan dan harus mendapat dukungan dari semua pihak.Harus ada upaya bersama membangun pikiran guna melestarikan bahasa tersebut dengan pola yang integral pada keseluruhan aset budaya yang dimiliki. Ahkirnya, dengan 'menampik dirinya sendiri' atau mengidentifikasi diri sebagai orang lain sesungguhnya bukan budaya dan mentalitas masyarakat Banyumas.

Fajar Widodo, Staf Pusat Studi Masyarakat (PSM), dan Mantan Pendiri Ikatan Mahasiswa Banyumas (IMBAS), Yogyakarta.

Artikel ini pernah dimuat di;
Kompas Jogja, 2 Agustus 2005
dengan Judul; Melestarikan Dialek Lokal Banyumasan

No comments:

Post a Comment