Sebagai kota budaya Yogyakarta selalu kreatif memunculkan fenomena keunikan. Salah satu keunikan itu seperti adanya pasar yang menjual barang-barang bekas. Seperti yang tampak di beberapa sudut kota misalnya di Alun-alun Kidul, dipingir-pingir jalan dan di emperan-emperan pasar saat siang hari. Sedangkan yang terlihat tertata rapi seperti di Jalan Mangkubumi, yang terkenal dengan sebutan pasar klitikan.
Sebagai pasar barang bekas, klitikan cukup ramai diserbu para pengunjung. Tidak terbatas pada kalangan tertentu saja. Pasar klitikan bebas didatangi orang tua, kaum muda, dan mahasiswa. Mereka tidak
semata-mata berjual beli namun ada juga yang hanya menyempatkan waktunya sekedar untuk jalan-jalan. Salah satu ciri khas lain dari pasar klitikan adalah dibuka pada pukul 18.00-21.00 WIB, jadi setelah lewat jam itu dengan sendirinya mereka membubarkan diri.
Hilir mudik pengunjung serta deretan panjang motor parkir menjadi pemandangan tersendiri bagi orang yang melintas di Jalan Mangkubumi. Sehingga semakin menambah suasana hidup di sepanjang jalan itu dan
menggoda yang lain untuk ikut mampir.
Sebelum seramai sekarang, pasar klitikan dikenal dengan sebutan pasar “maling”, sebutan itu muncul barangkali karena barang-barang yang dijajakan bekas dan dianggap separo nyolong (spanyol). Namun kini pasar tersebut tidak lagi hanya menjual barang bekas tetapi barang-barang baru pun sudah banyak dijual belikan ditempat itu. Meskipun demikian tidak mengurangi minat para pengunjung dikarenakan barang-barangnya lebih murah dibanding tempat lain.
Keberadaan pasar klitikan telah membuat sentra ekonomi yang secara langsung berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat. Sehingga apabila jenis pasar seperti ini mampu dikembangkan dan dibuat sebagai daya tarik wisata tentu akan berdampak pada peningkatan pendapatan yang besar bagi masyarakat dan pemerintah.
Namun, hingga saat ini tidak tahu apakah pemerintah kota sudah menangkap gejala aktivitas pasar semacam klitikan atau belum. Karena hal kecil semacam ini seharusnya sudah menjadi perhatian bagi pemerintah mengingat dampak yang timbul cukup memberi arti bagi
kehidupan.
Disamping itu fenomena penjaja barang bekas semacam pasar klitikan telah terbukti mampu memutar roda ekonomi. Namun keberadaan mereka yang menempati lokasi yang rawan penertiban harus mulai dipikirkan pemerintah agar supaya tidak menjadi persoalan besar dikemudian hari. Beberapa kasus tentang pedagang kaki seharusnya menjadi pelajaran. Bahwa mereka sebelumnya tidak ada larangan menempati ruang publik.
Kita seringkali mendengar adanya penggusuran terhadap para pedagang kaki lima dengan dalih untuk penertiban. Namun yang sering kita lupakan adalah mengapa kaki lima dibiarkan muncul tetapi setelah itu kemudian digusur. Sehingga hal semacam ini sering dilihat sebagai langkah yang tidak mau tahu proses yang terjadi tetapi langsung kepada hasilnya. Padahal keteledoran dalam pembiaran terhadap persoalan yang seperti ini seringkali menjadi masalah sosial.
Beberapa kasus penggusuran bisa menjadi contoh misalnya, selokan mataram. Sebelum ada para pedagang kali lima, kawasan tersebut dulunya ditengarai merupakan kawasan yang menyeramkan, bahkan banyak begalnya. Namun setelah dibuka oleh para pedagang, kawasan tersebut menjadi ramai dan merupakan sentra ekonomi masyarakat. Akan tetapi dalih pembangunan dan dianggap mengganggu ketertiban akhirnya mereka digusur yang mengakibatkan kekecewaaan dan amarah para pedagang.
Belajar dari kasus yang ada, kita harapkan pemerintah kota mampu menangkap fenomena pasar barang bekas seperti diklitikan tersebut. Karena jangan sampai membiarkan pasar terus berkembang akan tetapi berakibat pada penggusuran dan pelarangan aktivitas perdagangan di kawasan tersebut. Sehingga sebelum persoalan menjadi rumit alangkah lebih baik pemerintah mampu membuat rencana strategis atas pengembangan pasar parang bekas yang sejenis klitikan di Yogyakarta ini.
Melihat begitu besar pengunjung yang mendatangi pasar klitikan, hal tersebut menunjukan bahwa akan lebih baik apabila ada pengembangan atas pasar barang bekas ini. Kita tidak bisa menutup mata bahwa masyarakat tetap membutuhkan barang-barang yang murah terjangkau meskipun itu bekas sekalipun. Disamping itu adanya pasar klitikan sebagai keunikan yang menjadi ciri khas sebuah kota budaya semakin terwadahi.
Belum lama ini kita mendengar pemerintah Yogyakarta akan membangun delapan buah mall yang cukup menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat. Pembangunan tersebut dianggap tidak peka budaya dan hendak mengikikis budaya lokal dengan budaya asing. Pembangunan di Yogyakarta seharusnya adalah yang mendukung sektor budaya yang sudah ada. Sehingga ada kesinambungan anatara satu dengan yang lain.
Kota Yogyakarta dianggap oleh banyak orang lebih cocok dengan pasar tradisional yang menampung hasil budaya masyarakat. Sehingga dengan pasar tradisional masyarakat akan dapat berpartisispasi dalam enggunaan pasar dimana hal tersebut sangat mustahil apabila beruwujud dengan konsep mall. Dimana akan terbentur dengan modal yang jumlahnya tidak sedikit apabila menempati gedung meawah dan megah.
Dengan membangun pasar tradisional yang menampung hasil kerajinan dan industri rumah tangga di masyarakat akan memberikan peluang promosi yang tentunya berakibat pada peningkatan pendapatan. Kita bisa melihat bagaimana pasar beringharjo tetap menjadi daya tarik wisatawan untuk berbelanja ditempat tersebut. Hal ini menunjukan bahwa wisatawan datang ke Yogya memang hendak menikmati budayanya yang asli dan tradisional. Karena kalau hanya sekedar modernisme ditempat lain jauh lebih menarik.
Akhirnya semua berpulang pada konsep pemerintah dalam rangka mengembangkan wilayahnya. Namun demikian beberapa hal harus diperhatikan ketika harus memaksakan modernisasi di kota budaya semacam Yogyakarta. Tentu kita juga tidak ingin melihat pasar klitikan nantinya hanya tinggal nama dan kenangan ketika suatu saat harus ditertibkan tetapi tidak mendapat relokasi. Maka harapannya tentu adalah sebelum semua itu terjadi mengembangkan dan memberikan tempat terhadap para penjaja barang bekas seperti pasar klitikan tentu lebih arif dan bijaksana.
Fajar Widodo, Kepala Divisi Riset dan Kajian Pusat Studi Masyarakat (PSM), Yogyakarta.
Artikel ini pernah dimuat diKompas Jogja, 13 Agustus 2004
dengan Judul; Mengembangkan Pasar Tradisional Ala Klitikan
No comments:
Post a Comment