Wednesday, December 26, 2007

Pendidikan Gratis Bukan Utopia


“orang tua kami tidak punya tanah untuk digarap. Mereka tidak bisa membiayai kami sekolah”. Begitulah yang diucapkan Sumaeni, 14 tahun, perempuan dari tiga bersaudara yang tinggal di Desa Bayan, Lombok, sekitar 20 KM dari kota Mataram. Demikian kutipan dari salah satu media cetak beberapa waktu yang lalu. Dalam situasi yang masih seperti sekarang, krisis belum berakhir dan biaya hidup masih tinggi, barangkali masih banyak Sumaeni-Sumaeni yang lain. Yakni persoalan tidak mampu melanjutkan sekolah karena terbentur biaya.

Dalam tahun ajaran baru sekarang, persoalan yang ramai dibicarakan dimasyarakat adalah naiknya biaya pendidikan disegala jenjang, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Mahalnya biaya yang dirasakan oleh masyarakat terutama pada jenjang SD sampai SLTP sangat bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah tentang kewajiban belajar sembilan tahun. Disatu sisi pemerintah mewajibkan semua anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan minimal SLTP. Disisi yang lain pendidikan tersebut membatasi akses bagi semua anak dari lapisan sosial ekonomi dengan mematok biaya diatas rata-rata. Tentu ini adalah sikap yang tidak bijaksana.

Pada salah satu rubrik Majalah pernah dipaparkan mengenai biaya sekolah yang sangat mahal. Menurutnya mahal dan murahnya biaya pendidikan sifatnya relatif. Karena ukuran mahal dapat ditolerir apabila dibarengi dengan mutu kualitas yang baik. Biaya pendidikan tersebut akan kembali dalam operasional untuk menghasilkan pendewasaan, pertumbuhan dan perkembangan siswa. Kemudian mencontohkan, buat apa bayar murah namun kualitasnya jelek, siswanya tukang tawur dan konsumen NARKOBA. Singkatnya dia tidak masalah dengan biaya mahal asal bermutu. Meskipun ukuran mutu juga relatif.

Sepintas penulis sepakat dengan pendapat Majalah tadi. Namun hal itu bisa dilaksanakan apabila situasi ekonomi dan sosial masyarakat kita telah baik, kesejahteraan telah merata. Sedangkan kenyataan saat ini adalah jumlah yang tidak mampu dari sisi ekonomi lebih banyak. Apakah konsep pendidikan mahal itu akan tetap dipaksakan? Bila keadaan masih seperti sekarang, dimana pendidikan menjadi sulit terjangkau, maka jumlah anak yang tidak bersekolah akan terus bertambah. Berarti target pemerintah untuk menyekolahkan semua anak bangsa minimal SLTP pada tahun 2008 sekedar ungkapan politis.

Imbas Neoliberalisme
Fenomena pendidikan mahal tidak bisa dilepaskan dari peran Neoliberalisme, yakni ideologi baru kapitalisme (Umi Latifah, Prokon, 22/8/’03). Neoliberalisme adalah sebagai paham yang mempromosikan pasar bebas dan anti subsidi. Target yang ingin diwujudkan adalah kesetaraan individu, perwujudan maximalisasi provit, privatisasi dan minimalisasi public spending. Dalam pendidikan yang paling bisa kita lihat adalah pengurangan subsidi sebagaimana diperintahkan IMF. Padahal pemerintah punya kewajiban menanggung biaya pendidikan 20 persen sesuai amanat UUD 1945.

Meskipun demikian, tidak banyak yang mempersoalkan ketika pemerintah tidak merealisasikan anggaran 20 persen. Barangkali persoalan pendidikan bukan komoditi yang menarik bagi elit politik, Mahasiswa, LSM dll, untuk diangkat dan dipersoalkan. Sangat berbeda dengan persoalan Sukhoi, Bulog, BBM, Listrik, dan lainnya. Hal ini menunjukan bahwa kesadaran bersama akan pentingnya pendidikan belum terwujud di Indonesia.

Pemerintah sampai saat ini belum menganggap pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Padahal bila kita ingin SDM yang handal, mampu mengejar ketertinggalan, menjadi bangsa yang maju, tentu yang harus kita persiapkan dan kita benahi adalah sektor pendidikanya. Persiapan dalam rangka itu salah satunya adalah dengan membuka akses semudah-mudahnya bagi seluruh anak bangsa mengenyam pendidikan. Namun pendidikan saat ini belum menjadi prioritas utama, 60 persen keuangan negara dipergunakan untuk membayar cicilan hutang luar negeri dan dana perimbangan daerah.

Dalam hal ini menarik untuk menjadi refleksi bersama, yakni dengan mencontoh pemimpin Jepang sewaktu negaranya dihancurkan Bom oleh sekutu, yang pertamakali dia tanyakan adalah masih ada berapa guru yang tersisa. Dia sadar bahwa untuk membangun kembali negaranya yang hancur adalah dengan mempersiapkan SDM yang handal. Hasilnya bisa kita saksikan sekarang, negara tersebut telah berubah menjadi negara paling maju di dunia.

Gratis Bukan Utopia
Melihat upaya pemerintah dalam membiayai pendidikan belum serius, kita tidak lantas pesimis. Segala usaha harus kita upayakan agar seluruh rakyat Indonesia bisa mengenyam pendidikan dengan tidak dikriminasi, anak kaya dan miskin bisa sekolah. Dalam rangka itu perlu upaya pembenahan yang dilakukan dalam segala hal. Diantaranya adalah melawan yang menjadi penghambat kemajuan pendidikan baik dari dalam maupun dari luar. Dari luar seperti, Neoliberalisme, karena ini merupakan salah satu penghambat kemandirian bangsa Indonesia untuk mengatur dirinya sendiri. Sedangkan dari dalam adalah memperbaiki perilaku mental bangsa kita yang masih rendah seperti KKN. Karena tidak sedikit anggaran biaya pendidikan banyak disunat/diselewengkan sebelum sampai pada yang berhak.

Upaya lain adalah menggerakan ekonomi rakyat dengan pemberian kredit usaha kecil, kredit usaha tani, dan sebagainya. Sehingga dengan semakin baiknya perekonomian berarti persoalan biaya pendidikan akan semakin mudah diatasi. Partisipasi lain juga bisa menjadi alternatif, semacam memberdayakan zakat umat Islam untuk subsidi pendidikan. Kerena selama ini zakat hanya bernilai konsumtif namun belum dimaksimalkan pada hal yang produktif dan investatif.

Kita hanya bisa berharap dan terus mengupayakan dari apa yang kita bisa lakukan agar persoalan pendidikan bisa selesai. Kewajiban negara dalam soal pembiayaan itu pasti, sehingga ketika mewajibkan masyarakat untuk wajib belajar minimal 9 tahun bukan retorika semata. Tetapi harus diberengi dengan usaha nyata yang mendukung atas suksesnya program tersebut. Namun apabila anggaran yang 20 persen saja masih jauh dari harapan untuk bisa diterapkan. Maka pemberian sekolah gratis masih menjadi mimpi bagi Sumaeni dan kawan-kawannya untuk kita perjuangkan.*

Fajar Widodo, Mantan Aktivis Forum Komunikasi Mahasiswa Jogjakarta (FKMJ) & Menteri Luar Negeri Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.

Artikel ini pernah di muat di;
Jawa Pos, 25 Agustus 2003
dengan Judul "Pendidikan Gratis Bukan Utopia"

1 comment:

  1. OPTIMIS VERSUS PESIMIS

    ORANG OPTIMIS BUKANLAH ORANG YANG KARENA MELIHAT JALAN MULUS DI HADAPANNYA, TETAPI ORANG YANG YAKIN 100% DAN BERANI UNTUK MENGATASI SETIAP TANTANGAN YANG MENGHADANG.

    Ada 2 macam manusia dalam menyikapi hidup ini, satu sikap orang yang pesimis dan ke-dua adalah orang yang bersikap optimis.

    Tipe pertama orang pesimis, bagi orang pesimis kehidupannya lebih banyak dikuasai oleh pikiran yang negatif, hidup penuh kebimbangan dan keraguan, tidak yakin pada kemampuan diri sendiri, kepercayaan dirinya mudah goyah dan mudah putus asa kalau menemui kesulitan atau kegagalan, selalu mencari alasan dengan menyalahkan keadaan dan orang lain sebagai proteksi untuk membenarkan dirinya sendiri, padahal di dalam dirinya dia tahu bahwa betapa rapuh mentalnya, orang pesimis lebih percaya bahwa sukses hanyalah karena kebetulan, keberuntungan atau nasib semata.

    Tentu orang dengan sikap mental pesimis seperti ini, dia telah mengidap penyakit miskin mental, jika mental kita sudah miskin, maka tidak akan mampu menciptakan prestasi yang maksimal dan mana mungkin nasib jelek bisa dirubah menjadi lebih baik.

    Tipe ke 2 adalah orang optimis, bagi orang yang memiliki sikap optimis, kehidupannya didominasi oleh pikirannya yang positif, berani mengambil resiko, setiap mengambil keputusan penuh dengan keyakinan dan kepercayaan diri yang mantap. orang optimis bukanlah karena melihat jalan mulus di hadapannya, tetapi orang yang mempunyai keyakinan 100% dalam melaksanakan apa yang harus diperjuangkan, orang optimis tahu dan sadar bahwa dalam setiap proses perjuangannya pasti akan menghadapi krikiil -krikil kecil ataupun bebatuan besar yang selalu menghadang!

    Orang optimis siap dan berani untuk mengatasi masalah atau kesulitan yang merintanginya, Bahkan disaat mengalami kegagalan sekalipun tidak akan membuat dia patah semangat, karena dia tau ada proses pembelajaran disetiap kegagalan yang dia alami.

    Tentu orang yang punya sikap mental optimis demikian adalah orang yang memiliki kekayaan mental. dan Hanya orang yang mempunyai kekayaan mental, yang mampu mengubah nasib jelek menjadi lebih baik.

    Jika anda, saya dan kita semua secara bersama-sama mampu membangun kekayaan mental dengan berkesinambungan, mampu menjalani hidup ini dengan optimis dan aktif, tentu secara langsung akan berpengaruh pada kehidupan kita pribadi serta kehidupan keluarga, dan dari kehidupan keluarga -keluarga yang semangat, optimis dan aktif akan mempengaruhi kehidupan masyarakat secara luas, yang pada akhirnya akan menjadi kekuatan sinergi sebagai kontributor dalam membangun Indonesia sekaligus mengembalikan jati diri bangsa! Kalau bukan kita yang membangun Indonesia, lalu siapa?

    www.lcc-ptc.com

    ReplyDelete