Wednesday, December 26, 2007

Quo Vadis Lembaga Kemahasiswaan


Pada masa-masa 1970-an bisa dikatakan sebagai masa keemasan kiprah dan peran lembaga kemahasiswaan. Pada masa itu lembaga kemahasiswaan merupakan alat mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi dan koreksi terhadap birokrasi kampus dan menjadi model gerakan protes terhadap negara atas kebijakan-kebijakannya yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Lembaga kemahasiswaan atau pemerintahan mahasiswa yang pada saat itu dikenal dengan nama Dewan Mahasiswa (DEMA) bisa dikatakan wakil utama gerakan mahasiswa pada masa itu.

Saat ini keberadaan lembaga kemahasiswaan meski telah berganti nama seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Keluarga Besar Mahasiswa (KM), Senat Mahasiswa (SM) dan lain-lain, namun perannya tidak lagi segarang dan sepenting dulu dalam membela hak-hak mahasiswa dan masyarakat. Banyak yang mengatakan lembaga kemahasiswan saat ini hanyalah sekelompok elit mahasiswa yang menjadi kepanjangan tangan birokrasi dan mendapat fasilitas enak dibanding mahasiswa biasa lainnya. Lembaga tersebut bukan lagi tempat advokasi mahasiswa dan masyarakat tetapi hanya sekedar menghabiskan anggaran untuk kegiatan yang tidak “bermutu”.

Padahal menilik sejarah terbentuknya, lembaga kemahasiwaan telah mengalami banyak hal yang penuh liku-liku dan dinamika sehingga mampu menunjukan peran yang begitu dikagumi. Meski kemunculannya merupakan buah kontradiksi yang terjadi antar mahasiswa pasca fenomena KAMI (kesatuan aksi mahasiswa Indonesia), yang menjadi pelopor gerakan mahasiswa 1966 dimana sebagian aktivisnya dilanda “mabuk kemenangan” sehinga mereka masuk dalam lingkar kekuasan. Sementara mereka yang tetap memegang “idealisme” kembali kekampus dengan membuat format lembaga kemahasiswan sebagai alat untuk berorganisasi dan melakukan “perlawanan”.

Namun, mereka yang kembali kekampus dengan idealisme dan berorganisasi jumlahnya sangat sedikit dibanding mereka yang enjoy duduk dikursi empuk menjadi anggota DPR maupun yang menjadi asisten menteri atau semacamnya. Sehingga banyak yang mengatakan bahwa meletusnya peristiwa Malari 1974 pada masa awal pemerintahan Orde baru merupakan pecahnya “bulan madu politik” mahasiswa dengan pemerintah. Sehingga dengan peristiwa ini gerakan mahasiwa yang terwakili dalam lemabaga kemahasiswaan menemukan kontekstualisanya dalam perjanan selanjutnya.

Beberapa peran penting lembaga kemahasiswaan disamping mempu memobilisir massa mahasiswa dalam jumlah yang besar untuk melakukan protes terhadap kebijakan negara adalah keberadaanya dilingkungan kampus dapat menjadi penyeimbang birokrasi terutama pihak rektorat. Hampir tidak ada kebijakan-kebijakan rektorat pada masa itu yang berkenaan langsung dengan mahasiswa tanpa terlebih dahulu di bicarakan bersama lembaga kemahasiswan. Saat itu Kedudukan lembaga kemahasiswaan sebagai wakil mahasiswa adalah menjadi mitra sejajar dengan birokrasi.

Namun, Meletusnya peristiwa Malari dan perlawanan yang tiada henti atas kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Orde Baru seperti penolakan pembangunan TMII, fenomena ASPRI Presiden, dan penolakan terhadap pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden berimbas pada di keluarkannya NKK/BKK (normalisasi dan koordinasi kampus/badan kordinasi kampus) pada 1978 oleh Menteri Pendidikan dan kebudayaan, Prof. Dr. Daoed Joesoef. Hal ini kemudian menjadi dasar dibubarkannya Dema atau lembaga kemahasiswaan di tingkat kampus, diterapkannya sistem SKS dan pembentukan PUREK III yang bertugas mengontrol sepenuhnya aktivitas kemahasiswaan secara ketat.

Imbas NKK/BKK inilah yang kemudian membuat gerakan mahasiswa menerapkan model baru tidak lagi melalui lembaga kemahasiswaan seperti Dema tetapi melalui gerakan seperti Pers mahasiswa (Persmawa), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Kelompok Studi dan Diskusi. Namun demikian, upaya menghidupkan kembali lembaga kemahasiswaan pernah dilakukan pada awal 1990-an tetapi dengan format dan model yang berbeda tidak seperti Dema sebelumnya, yakni dengan sistem SMPT (senat mahasiswa perguruan tinggi). Sehingga pun demikian model ini akhirnya tidak cukup efektif menjadi wahana kritis dan berperan selayaknya gerakan mahasiswa.

Beberapa hal yang menjadikan tidak berfungsinya sistem SMPT adalah tidak adanya kemandirian dalam mengelola lembaga tersebut. Hal ini akibat peran yang sangat besar pada PUREK III dalam mengontrol dan membatasi ruang geraknya. Disamping itu kemandirian mengelola keuangan, kemitraan dan beberapa persoalan sistem yang sama pada tingkat fakultas yang sengaja diciptakan birokrasi membuat lembaga ini rentan konflik internal di tingkat mahasiswa. Akhirnya kebersamaan mahasiswa dalam satu wadah dalam mengelola isu dan gagasan serta mobilisasi sulit diwujudkan.

Kondisi demikian masih saja terjadi hingga saat ini. Keberadaan lembaga kemahasiswan tidak lagi cukup diminati menjadi wadah untuk berorganisasi dan beraktualisasi penuangan ide dan gagasan. Hampir tidak tampak peran signifikan yang muncul dari lembaga kemahasiswaan saat ini. Sehingga pada masa reformasi 1998 yang bisa dikatakan sebagai booming gerakan mahasiswa pun mereka tidak menunjukan perannya. Pada saat itu justeru orang-orang yang lahir dari dunia pers mahasiswa dan kelompok studi yang banyak berperan dalam kepanitiaan-kepantiaan aksi.

Salah satu sebab mengecilnya peran lembaga kemahasiswaan diantaranya adalah karena lembaga kemahasiswaan hanya menjadi kepanjangan organisasi-organisasi ekstra kampus. Organisasi yang menguasi kampus dalam pengertian kadernya banyak dan dominan merekalah yang akan menguasi lembaga-lembaga itu. Sehingga sektarianisme yang cukup menonjol menjadi halangan atas apapun kegiatan yang dilakukannya untuk mendapat dukungan oleh mahasiswa selain dari kelompoknya. Disamping itu kegiatannya justeru bukan yang berperan untuk mencuptakan atmosfir kampus yang penuh dengan idealisme dan kritisisme.

Sebab lain “kemandulan” lembaga kemahaswaan adalah tidak adanya kemandirian akibat kontrol ketat PUREK III atas keuangan dan penentuan-penentuan kegiatan yang akan dilakukan. Bagaimana mau berani kritis terhadap kebijakan kampus apabila sebelumnya sudah diancam dengan serangkaian peraturan dan pemutusan angggaran, padahal sebelumnya hal-hal semacam itu dikelola mandiri dan peraturan dibicarakan secara bersama. Sehingga kegiatan mereka hanya berkisar pada seputar Ospek dan pentas musik, meskipun demikian materi masih harus dari pikak rektorat.

Akhirnya harus ada upaya memaksimalkan peran dan potensi lembaga kemahasiswaan sehingga mampu menjadi ruang kritisisme atas kebijakan-kebijakan minimal ditingkat kampus sebelum berbicara pada konteks negara. Karena mahasiwa sebagai pemuda adalah merupakan salah satu tenaga yang tersedia ketika PKL, buruh dan tani belum seluruhnya menemukan kawan. Sebelum pendampingan masyarakat dilakukan tentu adalah lebih bijak membenahi sistem lembaga kemahsiswaan itu sendiri sehingga dapat menjadi mitra yang sejajar dengan birokrasi dalam kebijakan-kebijakan kampus dan pada akhirnya dapat menjadi tempat advokasi mahasiswa dan masyarakat.

Fajar Widodo, Mantan Menteri Luar Negeri Dewan Mahasiswa (DEMA) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Artikel ini pernah di muat
Suara Merdeka, 24 Maret 2005
dengan Judul "Quo Vadis Lembaga Kemahasiswaan"

1 comment: