Friday, July 27, 2007

Penelitian Ilmiah Alternatif KKN

Jawa Pos Senin, 16 Feb 2004

Penelitian Ilmiah Alternatif KKN
Oleh Fajar Widodo *

Setiap Mahasiswa yang telah menyelesaikan teori perkuliahan 75 persen di beberapa perguruan tinggi wajib mengambil program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Kegiatan tersebut dilaksanakan di masyarakat sekitar dua bulan.Bagi mahasiswa, kegiatan itu ditanggapi senang atau pun biasa-biasa, bergantung bermakna apa KKN tersebut. Sebab, tidak sedikit yang memaknai KKN sebagai wisata dan refreshing. Tentunya, ada juga yang serius. KKN digunakan sebagai pengabdian kepada masyarakat sesuai agenda kegiatan yang diberikan pembimbing.

Pada awalnya, sejarah diberlakukannya KKN merupakan upaya menstabilisasi kehidupan mahasiswa pada akhir 1970-an, yakni kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK). Hal tersebut dimaksudkan agar mahasiswa betul-betul diarahkan untuk kegiatan akademik, tidak perlu lagi berdemonstrasi dan berorganisasi.Selanjutnya, kegiatan KKN secara ideal bertujuan membumikan teori-teori yang diperoleh mahasiswa di bangku kuliah agar dapat dirasakan masyarakat. Hal itu adalah salah satu tujuan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pengabdian. Sebab, ilmu yang diperoleh sudah semestinya diserahkan kepada masyarakat. Namun, apakah KKN yang bertujuan sebagai pengabdian tersebut telah benar-benar mengabdi?

Selain itu, tujuan lain kegiatan KKN ialah agar mahasiswa nantinya terbiasa bergaul bersama masyarakat. Tidak hanya hidup dalam menara gading. Berkat masyarakat di lokasi KKN, diharapkan mahasiswa menjadi semakin matang dalam berinteraksi dengan masyarakat secara langsung sehingga mampu memanusiakan diri. Namun, apakah KKN benar-benar dibutuhkan mahasiswa dan masyarakat sebagai suatu kegiatan saling mengisi? Teman-teman penulis atau pun penulis yang pernah KKN memberi tanggapan tentang kegiatan itu. Mereka menganggap KKN tidak efektif dan menciptakan ketergantungan dan kemanjaan masyarakat.

Selama ini, KKN lebih banyak sebagai sarana penyumbang infrastruktur material seperti, betonisasi jalan, neonisasi, plangisasi (pembuatan petunjuk jalan, papan pengumunan, dll), atau pun pengecatan masjid adalah program favorit mahasiswa IAIN. Meskipun dalam mengadakannya, peserta KKN harus meminta kesana-kemari. Sehingga, timbul guyonan di saat KKN banyak muncul pengemis berjas almamater. Sementara itu, program nonfisik ialah mengajar TPA. Tidakkah bisa lebih kreatif? Jadi, dalam persoalan KKN sebenarnya, ada dua hal yang perlu di evaluasi yakni, mahasiswa dan masyarakat. Bagi mahasiswa, harus terukur seberapa besar sumbangan yang mampu diberikan kepada masyarakat serta manfaat yang dapat diperoleh. Begitu halnya dengan masyarakat. Apakah memang masyarakat memperoleh sesuatu yang lebih dari sekedar pembangunan sarana fisik.
D
engan agenda yang monoton serta tidak ada variasi dan kreativitas yang inovatif dari tiap angkatan, sudah sering terdengar, masyarakat jenuh menerima kedatangan mahasiswa peserta KKN. Bagaimana tidak, dalam setahun masyarakat yang menjadi lokasi KKN atau desa binaan perguruan tinggi akan kedatangan mahasiswa tiga kali. Yakni, pada semester ganjil, genap, dan semeser pendek. Dengan pendeknya waktu serta terbatasnya desa binaan dan ketika sarana fisik merupakan kegiatan pokok yang utama, tidak jarang peserta acapkali kebingungan harus melakukan kegiatan apa karena infrastruktur yang dibuat sebelumnya terlihat baru.

Seharusnya, program KKN tidak diorientasikan pada sarana fisik saja tapi lebih memberdayakan kemampuan mahasiswa berdasarkan basis fakultas masing-masing. Misalnya, mahasiswa fakultas peternakan bisa mengajari masyarakat beternakdengan baik. Sama halnya fakultas teknik, mungkin dapat memberdayakan pemuda-pemuda pengangguran di kampung belajar keterampilan mesin. Begitu juga dengan mahasiswa perguruan tinggi berbasiskan agama, kegiatannya dilakukan sesuai ilmu sosial eagamaaan dalam bentuk praktis di masyarakat.

Jadi, dalam hal tersebut, tidak semua mahasiswa dari fakultas mana pun dipukul rata untuk menjalankan program yang seragam. Tetapi, dipilah dan diorientasikan pada basis fakultas. Sehingga akan terlihat, KKN adalah sarana pemberdayaaan masyarakat dan mahasiswa. Sebab, kalau hanya program KKN berkutat pada persoalan-persoalan fisik, pemuda pengangguran pun bisa melakukan hal tersebut tanpa harus kuliah di perguruan tinggi.

Salah satu yang diharapkan dari program KKN adalah terciptanya mental serta kemampuan beradaptasi dengan masyarakat. Bagi penulis, hal tersebut tidak dapat diperoleh dengan instant hanya dengan memberangkatkan ratusan mahasiswa selama dua bulan. Kalau hanya demikian, cukup belajar berorganisasi dengan baik di kampus dengan sendirinya mampu menjadi bekal di masyarakat. Bahkan, beberapa organisasi pergerakan sudah terbiasa mengirimkan kader-kadernya untuk live in (tinggal bersama) dan melakukan pendampingan bersama masyarakat dalam rangka menyelesaikan kasus.

* Fajar Widodo, mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga ketua Litbang Dewan Daerah Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Jogjakarta.

1 comment:

  1. wah temanya lawas tenan...
    tolong diupdate dengan tema-tema seputar mafia peradilan dong, dunia yang kini dekat dengan mas do..heeee...

    ReplyDelete