Oleh : Fajar Widodo*
Pada masa Orde Baru peran pers mahasiswa menempati posisi penting di belantika pers Indonesia. Hal tersebut terjadi karena pers mahasiswa mampu menjadi alternatif ketika kebebasan pers tidak dapat dinikmati seperti sekarang. Keberadaan pers mahasiswa yang hadir dalam bentuk majalah, buletin, pamflet dan bahkan selebaran sangat ditunggu kehadirannya karena keberaniannya dalam menginformasikan persoalan-persolan masyarakat secara riil dan lebih utuh.
Namun, saat ini kebebasan pers telah dapat dinikmati akibat buah reformasi ’98. Disaat itulah peran pers mahasiswa tidak lagi “signifikan”, kemunculannya tidak lagi dinanti-nantikan. Sehingga terkesan pers mahasiswa saat ini hanya sekedar menjadi sarana belajar menulis mahasiswa yang punya bakat dan minat dalam bidang itu. Pemberitaan yang sebelumnya eksklusif dan hanya berani disuarakan oleh mereka kini semua media sudah dapat melakukannya.
Sejarah keberadaan pers mahasiswa dengan keberaniannya tersebut tidak dapat dilepasakan dari dinamika gerakan mahasiswa yang melingkupinya. Semenjak pemberlakukan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordianasi Kampus)sekitar tahun 1978, keberadaan gerakan mahasiswa bisa dikatakan tiarap. Represifitas negara saat itu menggiring gerakan mahasiswa untuk membuat model baru yang tidak lagi muncul dengan aksi demonstrasi.
Beberapa model baru dalam gerakan mahasiswa tersebut adalah seperti fenomena Kelompok Studi (KS), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Pers Mahasiswa PERSMAWA). Dunia pers mahasiswa dirasa lebih tepat dan cukup aman menjadi semacam “pelarian” idealisme dalam ruang pergerakan. Penyatuan anatara idealita dan realita dalam sebuah kerja dianggap lebih kondusif. Namun, pengawasan yang cukup ketat dari aparatus negara tetap terjadi, pembredelan dan penutupan lembaga pers
mahasiswa yang marak pada awal 90-an menjadi bukti.
Di Yogyakarta menurut tim peneliti LIPI, Muridan S. Widjojo et al, (Penakluk Rezim Orde Baru; Gerakan Mahasiswa ’98) sejak pertengahan dasawarsa 80-an tercatat 69 publikasai mahasiswa di beberapa kampus. Pers Mahasiswa menurutnya mempunyai peran penting dalam meningkatkan pemikiran kritis-konseptual dikalangan mahasiswa dan karena banyak berperan dalam memulai dan terutama mengorganisir protes-protes selama akhir 1980-an. Diantara terbitan majalah yang terkemuka adalah seperti Arena (IAIN), Balairung (UGM) dan Himmah (UII).
Pengertian ruang pergerakan di dunia pers mahasiswa ditunjukan tidak semata-mata mrempublikasikan tulisan-tulisan kritis. Namun turun kemasyarakat untuk advokasi berbagai kasus serta memaksimalkan jaringan antar mereka begitu kuat dan kencang dilakukan. Seperti, kasus Kedungombo, penolakan kehadiran J.P Pronk dengan tiduran diatas rel kereta api, dan penolakan-penolakan pembangunan lapangan golf sangat begitu marak. Sehingga aktualisasi gagasan dalam sebuah tulisan dan tindakan kongrit di lapangan betul-betul coba dipraktekkan.
Namun saat ini ruang pergerakan dalam dunia pers mahasiswa sudah tidak sekental seperti dulu. Hal tersebut cukup bisa dimengerti mengingat hampir seluruh organisasi kemahasiswaan baik ekstra maupun intra kini telah dapat menjadi ruang yang bebas untuk berekspresi dan berdinamika. Dengan demikian para aktivis pers lebih dapat memaksimalkan penerbitan yang lebih profesional tanpa harus kehilangan dinamika.
Akan tetapi gambaran tersebut tidak sepenuhnya terjadi, pers mahasiswa tetap tidak mampu membuat pangsa pasar minimal dikalangan mahasiswa. Banyak yang tetap enggan untuk membeli majalah terbitan mahasiswa, maunya tetap didapat dengan gratis padahal hanya sebagai pengganti ongkos cetak. Sehingga untuk pemasaran akhirnya hanya sekedar menjadi alat komunikasi antar jaringan pers mereka sendiri.
Sekarang, dalam situasi kebebesan pers yang sangat terbuka seharusnya pers mahasiswa harus memainkan peran yang berbeda dengan pers umum. Hal ini menjadi penting agar supaya pers mahasiswa punya warna dan citra tersendiri. Beberapa hal yang harus menjadi perhatian adalah tentang isi, yang harus berbeda dengan pers umum. Misalnya, pokok utama adalah tentang dunia pendidikan dan minimal wilayah kampus masing-masing menjadi obyek pemberitaan.
Mengangkat tema-tema dunia kampus dan pendidikan merupakan wilayah yang paling dekat untuk segera dikerjakan. Hal semacam ini sekarang sedang dilaksanakan di kampus penulis, dimana dinamika kemahasiswa dan kegiatan akademik di ekspos justeru sangat diminati oleh mahasiswa. Disamping itu kebijakan rektorat atau birokrat kampus juga lebih dapat terkontrol. Dalam dunia pendidikan harus ada balance sehingga kebijakan-kebijakan dalam hal tersebut dapat terkomunikasikan.
Dengan terbit seminggu sekali serta format yang lebih simple semacam news letter, tabloid, buletin, dan dengan gaya bahasa yang enak dibaca hal demikian justeru lebih menarik pembaca untuk selalu menunggu kehadirannya. Hal mana membedakan dengan format Majalah yang biasanya terbit sekali setahun dengan biaya cetak yang mahal serta isi yang sudah sangat ketinggalan. Namun contoh diatas adalah salah satu alternatif dengan tidak menutup sama sekali tetap terbit dengan format majalah yang mengangkat persoalan demokratisasi, HAM, politik, ekonomi, sosial, budaya, yang merupakan persoalan universal.
Disamping itu mengingat sejarah pers mahasiswa sebagaimana diatas setidaknya atmosfir pergerakandidalamnya harus senatiasa terjaga. Hal ini menjadipenting agar supaya idealisme mahasiswa mampu memerankan dua hal antara aktualisasi memalui tulisan dan tindakan di lapangan. Dengan demikian pers mahasiswa harus mampu meberikan sumbangan yang kongrit bagi usaha memperluas cakrawala pemikiran masyarakat serta mempertajam kerangka analisa dan menumbuhkan sikap kritis mahasiswa.
Akhirnya, agar supaya ruang aktualisai dalam dunia akademik khusunya bidang jurnalistik ini dapat terus ditingkatkan serta mendapat apresiasi dari para pembacanya maka berbagai hal dalam rangka untuk kemajuan tersebut harus terus kita gali. Bukankah dari jurnalistik lahirlah pergerakan sebagaimana dicontohkan Tirto Adi Suryo (TAS) sehingga ia disebut sebagai “Sang Pemula”.
Namun, saat ini kebebasan pers telah dapat dinikmati akibat buah reformasi ’98. Disaat itulah peran pers mahasiswa tidak lagi “signifikan”, kemunculannya tidak lagi dinanti-nantikan. Sehingga terkesan pers mahasiswa saat ini hanya sekedar menjadi sarana belajar menulis mahasiswa yang punya bakat dan minat dalam bidang itu. Pemberitaan yang sebelumnya eksklusif dan hanya berani disuarakan oleh mereka kini semua media sudah dapat melakukannya.
Sejarah keberadaan pers mahasiswa dengan keberaniannya tersebut tidak dapat dilepasakan dari dinamika gerakan mahasiswa yang melingkupinya. Semenjak pemberlakukan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordianasi Kampus)sekitar tahun 1978, keberadaan gerakan mahasiswa bisa dikatakan tiarap. Represifitas negara saat itu menggiring gerakan mahasiswa untuk membuat model baru yang tidak lagi muncul dengan aksi demonstrasi.
Beberapa model baru dalam gerakan mahasiswa tersebut adalah seperti fenomena Kelompok Studi (KS), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Pers Mahasiswa PERSMAWA). Dunia pers mahasiswa dirasa lebih tepat dan cukup aman menjadi semacam “pelarian” idealisme dalam ruang pergerakan. Penyatuan anatara idealita dan realita dalam sebuah kerja dianggap lebih kondusif. Namun, pengawasan yang cukup ketat dari aparatus negara tetap terjadi, pembredelan dan penutupan lembaga pers
mahasiswa yang marak pada awal 90-an menjadi bukti.
Di Yogyakarta menurut tim peneliti LIPI, Muridan S. Widjojo et al, (Penakluk Rezim Orde Baru; Gerakan Mahasiswa ’98) sejak pertengahan dasawarsa 80-an tercatat 69 publikasai mahasiswa di beberapa kampus. Pers Mahasiswa menurutnya mempunyai peran penting dalam meningkatkan pemikiran kritis-konseptual dikalangan mahasiswa dan karena banyak berperan dalam memulai dan terutama mengorganisir protes-protes selama akhir 1980-an. Diantara terbitan majalah yang terkemuka adalah seperti Arena (IAIN), Balairung (UGM) dan Himmah (UII).
Pengertian ruang pergerakan di dunia pers mahasiswa ditunjukan tidak semata-mata mrempublikasikan tulisan-tulisan kritis. Namun turun kemasyarakat untuk advokasi berbagai kasus serta memaksimalkan jaringan antar mereka begitu kuat dan kencang dilakukan. Seperti, kasus Kedungombo, penolakan kehadiran J.P Pronk dengan tiduran diatas rel kereta api, dan penolakan-penolakan pembangunan lapangan golf sangat begitu marak. Sehingga aktualisasi gagasan dalam sebuah tulisan dan tindakan kongrit di lapangan betul-betul coba dipraktekkan.
Namun saat ini ruang pergerakan dalam dunia pers mahasiswa sudah tidak sekental seperti dulu. Hal tersebut cukup bisa dimengerti mengingat hampir seluruh organisasi kemahasiswaan baik ekstra maupun intra kini telah dapat menjadi ruang yang bebas untuk berekspresi dan berdinamika. Dengan demikian para aktivis pers lebih dapat memaksimalkan penerbitan yang lebih profesional tanpa harus kehilangan dinamika.
Akan tetapi gambaran tersebut tidak sepenuhnya terjadi, pers mahasiswa tetap tidak mampu membuat pangsa pasar minimal dikalangan mahasiswa. Banyak yang tetap enggan untuk membeli majalah terbitan mahasiswa, maunya tetap didapat dengan gratis padahal hanya sebagai pengganti ongkos cetak. Sehingga untuk pemasaran akhirnya hanya sekedar menjadi alat komunikasi antar jaringan pers mereka sendiri.
Sekarang, dalam situasi kebebesan pers yang sangat terbuka seharusnya pers mahasiswa harus memainkan peran yang berbeda dengan pers umum. Hal ini menjadi penting agar supaya pers mahasiswa punya warna dan citra tersendiri. Beberapa hal yang harus menjadi perhatian adalah tentang isi, yang harus berbeda dengan pers umum. Misalnya, pokok utama adalah tentang dunia pendidikan dan minimal wilayah kampus masing-masing menjadi obyek pemberitaan.
Mengangkat tema-tema dunia kampus dan pendidikan merupakan wilayah yang paling dekat untuk segera dikerjakan. Hal semacam ini sekarang sedang dilaksanakan di kampus penulis, dimana dinamika kemahasiswa dan kegiatan akademik di ekspos justeru sangat diminati oleh mahasiswa. Disamping itu kebijakan rektorat atau birokrat kampus juga lebih dapat terkontrol. Dalam dunia pendidikan harus ada balance sehingga kebijakan-kebijakan dalam hal tersebut dapat terkomunikasikan.
Dengan terbit seminggu sekali serta format yang lebih simple semacam news letter, tabloid, buletin, dan dengan gaya bahasa yang enak dibaca hal demikian justeru lebih menarik pembaca untuk selalu menunggu kehadirannya. Hal mana membedakan dengan format Majalah yang biasanya terbit sekali setahun dengan biaya cetak yang mahal serta isi yang sudah sangat ketinggalan. Namun contoh diatas adalah salah satu alternatif dengan tidak menutup sama sekali tetap terbit dengan format majalah yang mengangkat persoalan demokratisasi, HAM, politik, ekonomi, sosial, budaya, yang merupakan persoalan universal.
Disamping itu mengingat sejarah pers mahasiswa sebagaimana diatas setidaknya atmosfir pergerakandidalamnya harus senatiasa terjaga. Hal ini menjadipenting agar supaya idealisme mahasiswa mampu memerankan dua hal antara aktualisasi memalui tulisan dan tindakan di lapangan. Dengan demikian pers mahasiswa harus mampu meberikan sumbangan yang kongrit bagi usaha memperluas cakrawala pemikiran masyarakat serta mempertajam kerangka analisa dan menumbuhkan sikap kritis mahasiswa.
Akhirnya, agar supaya ruang aktualisai dalam dunia akademik khusunya bidang jurnalistik ini dapat terus ditingkatkan serta mendapat apresiasi dari para pembacanya maka berbagai hal dalam rangka untuk kemajuan tersebut harus terus kita gali. Bukankah dari jurnalistik lahirlah pergerakan sebagaimana dicontohkan Tirto Adi Suryo (TAS) sehingga ia disebut sebagai “Sang Pemula”.
Fajar Widodo, Mantan Pemimpin Redaksi Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) AMOK, Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD) IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Artikel ini pernah dimuat di Kompas Jogja, 19 Oktober 2004 dengan Judul;Memberdayakan Peran Pers Mahasiswa
Ini baru namanya penulis yang bergerak. Tinggal bagaimana menggerakkan tulisan-tulisannya menjadi pemantik bagi pembaca.
ReplyDeleteSelamat ngeblog ria...
Kawan-kawan lain, meskipun belum pada punya istri, dirangsang dunk..
Salam Kenal mas..
ReplyDelete